Bangka Barat – Aktivitas pertambangan ilegal menggunakan ponton isap produksi (PIP) di perairan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, kian marak dan meresahkan masyarakat, khususnya para nelayan tradisional. Aktivitas ini disebut-sebut merusak ekosistem laut serta mengganggu mata pencaharian warga pesisir.
Tim investigasi dari sejumlah media turun langsung ke lokasi usai menerima laporan dari nelayan. Hasil pantauan mengonfirmasi keberadaan puluhan ponton jenis gearbox yang beroperasi siang dan malam di zona tangkap nelayan Tempilang.
Menurut Baidi, Ketua Perwakilan Nelayan dari lima desa—yakni Desa Tempilang, Sinar Surya, Benteng Kota, Air Lintang, dan Tanjung Niur—keberadaan PIP tersebut sangat merugikan nelayan. "Sebelum tambang ini ada, wilayah itu merupakan lokasi utama nelayan menangkap ikan, udang, dan kepiting. Di sana terdapat enam titik terumbu karang yang menjadi habitat ikan," ungkap Baidi.
Namun kini, lanjutnya, laut Tempilang tercemar minyak solar dan oli dari mesin ponton. "Air sudah keruh dan tidak layak lagi untuk nelayan. Kami sangat dirugikan," tegasnya.
Baidi juga menyinggung keberadaan Surat Keputusan Bersama (SKB) tertanggal 11 Desember 2017, yang hingga kini belum dicabut. Dalam SKB tersebut terdapat empat poin penting:
1. Menolak segala bentuk aktivitas TI rajuk dan TI selam di perairan Tempilang untuk selama-lamanya.
2. Menarik seluruh ponton dalam waktu tiga hari.
3. Menyelesaikan persoalan limbah oleh panitia TI apung.
4. Menutup seluruh aktivitas biliar, warung remang-remang, dan penjualan minuman keras secara permanen.
SKB tersebut ditandatangani oleh Kapolres, Kapolsek, Camat Tempilang, sejumlah kepala desa, ketua BPD, dan perwakilan tokoh masyarakat.
Sementara itu, informasi dari warga setempat menyebutkan, aktivitas PIP tersebut diduga dikoordinatori oleh seseorang berinisial GEP alias STR, sosok yang dikenal sebagai pemain lama di dunia tambang ilegal. Timah hasil tambang disebut dijual kepada RKT, yang mendapat pasokan dana dari IVN—kolektor sekaligus bos besar asal Dusun Merabok, Desa Benteng Kota. Harga beli timah dari penambang berkisar Rp135.000 hingga Rp140.000 per kilogram.
Warga mempertanyakan mengapa aktivitas ilegal ini tidak kunjung ditertibkan oleh aparat kepolisian setempat. Dugaan adanya setoran kepada oknum aparat penegak hukum (APH) pun mencuat.
"Kalau dibiarkan terus, bisa memicu konflik antara nelayan dan penambang. Kami harap Kapolres Bangka Barat dan Kapolda Babel segera turun tangan sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," pungkas Baidi.
( TIM INVESTIGASI)
0 comments:
Posting Komentar